Wednesday, October 19, 2016
Tak jarang kita menghadapi hal yang sudah sangat sering kita kerjakan. Bidang yang kita punya pengalaman bertahun-tahun di’dalam’nya. Kerjaan yang kita merasa sudah sangat yakin pada kapasitas diri, sehingga benak kita menyiapkan nyaris segala kemungkinan untuk hampir segala skenario. Dan zaaap, Tuhan menegur kita. Mengingatkan betapa kecilnya kita. Betapa lemah dan tak berdayanya mahluk bernama manusia ini dalam perhitungan probabilitas yang melibatkan semesta raya milik Illahi.
Begitulah kawan, setelah hampir lima belas tahun menekuni dunia berbicara, merasa sudah cukup punya pengalaman, merasa sudah mampu mepersiapkan segala alternatif kemungkinan kesalahan di atas panggung, aku berdiri di samping panggung mendengarkan Pak Bupati menyampaikan petuahnya. Kata-katanya melintas sekejap dalam benak, lalu menghilang. Entah apakah alam bawah sadarku menyimpannya atau memang hilang lepas begitu saja. Pikiranku terpusat pada kesalahan konyol dan memalukan di atas panggung. Rasa getir yang menyusupi jiwa bahkan lebih terasa dibanding sakit yang membuat jari serta lenganku berdenyut dan kebas.
Belasan tahun pengalaman, yang tak berguna ketika Allah berkehendak. Teguran kecil, peringatan sederhana, betapa aku hanya debu dibanding kehendakNya.
Kalau kuhitung-hitung, mungkin sudah bukan ratusan kali lagi aku memerankan tugas seorang MC. Pun tata acaranya sangat sederhana, hanya mempersilakan saja. Sekadar menyampaikan. Berikut kata sambutan Ketua Panitia, ataupun kata sambutan dan pengarahan dari Yang Terhormat Bapak Bupati sekaligus membuka acara pelatihan bla bla bla. Begitu tak sulit, begitu sering sudah dilakukan.
Tapi yang terjadi kacau balau. Ketika mempersilahkan Pak Bupati. Kata-kata tersendat, salah ucap, bahkan mengucap salam penutup di ujung kalimat mempersilakan. Bayangkan, tak masuk akal dan tak jelas mengapa salam itu terucap. Padahal selepas itu masih harus balik lagi ke panggung untuk mempersilakan ustadz membacakan doa, lalu naik lagi untuk menutup sesi pembukaan.
Dan sebabnya sangat sederhana. Sengatan listrik dari bagian bawah mic tanpa kabel, yang ku pegang. Entah karena tangan yang basah, ataupun kerusakan perangkat. Yang jelas sakitnya menyengat, hingga untuk sekian detik pandangan sempat menggelap. Bersyukur tak tersungkur di podium, tapi perih dan kebas yang merambat kuat, membuatku kehilangan kata-kata. Aku tak tahu harus mengatakan apa, pikiranku terasa berkabut. Mencoba menekan panik, aku berjuang mengapai dan menyusun kata-kata. Sebisa mungkin melaksanakan ‘panggilan’ untuk beliau naik ke panggung, lalu berjuang keras berjalan normal, turun dari panggung. Berbaik hati menawarkan air, kurasa Ajudan Pak Bupati menyangka aku pitam karena gugup.
Bagian seremonial selanjutnya berjalan lancar. Aku mempersilahkan ustadz naik ke panggung. Lalu menutup sesi pembukaan. Berhenti sejenak, kemudian menanggalkan gaya formal, karena tugasku selanjutnya menjadi moderator untuk sesi pelatihan. Lancar. Kalimat mengalir dengan baik. Namun sepanjang acara pelatihan aku tak bisa tidak memikirkan kesalahan tadi. Meskipun sebagian besar panitia tak sadar, namun beberapa mendekat dan bertanya apakah aku baik-baik saja.
Dua hari, teman. Tak bisa ku enyahkan kejadian itu dari benakku. Kecil, sederhana, termaafkan sebenarnya, tapi tak mau enyah. Dan begitulah teman, selepas shalat maghrib mendadak muncul satu kesadaran. Ternyata walau sudah hampir dua tahun aku berhenti menjadi trainer, masih ada kesombongan tersimpan dalam bentuk yang seakan bukan sombong. Alih-alih hadir dalam wujud membanggakan diri di hadapan orang lain, ini model kesombongan yang justru muncul dalam sunyi. Diam-diam saja, tak pakai sesumbar.
Bajunya beda, suaranya beda, tapi ya, itu kesombongan. Merasa diri bisa, dan menganggap sudah punya pengalaman banyak. Ini juga yang membuat kesalahan kecil itu terasa menyakitkan. Merasa bisa, namun mendadak dijatuhkan dengan kegagalan di satu hal yang sangat bisa dan dikuasai caranya.
Sungguh, aku tersenyum sendiri tadi pagi. Bersyukur Allah masih saja sayang dengan hambaNya yang masih sering bandel ini. DitegurNya dengan cara yang tak kusangka, tapi masih ditutupkan dari banyak orang. Untuk kesekian kali, yang kalau ku hitung-hitung, Allah masih memberikan kesempatan untuk menjadi lebih baik. Memang mungkin tak sampai sekelas ulama atau salafus shalih, tapi tetap saja, masih diberi kesempatan memperbaiki kesalahan.
Aku jadi teringat, seorang teman yang sering kujumpai di kota pegunungan ini. Kata-katanya lembut, seni memutar ucapan yang dimilikinya dahsyat. Walaupun terkesan selalu merendah, santun tapi setiap kali ada di antara kami yang bersilang pendapat dengannya, dengan lembut dijatuhkannya orang itu. Berbeda konsep kegiatan, tanpa sadar ditelikungnya kawan punya konsep, dan dengan senyum dipaksakan pendapatnya. Tak ada ruang untuk orang lain. Dan sebabnya sederhana karena ia merasa dia lebih tahu.
“Mantap itu idemu dek. Tapi baiknya begini saja.” Sering betul ucapan itu terdengar. Bahkan ketika yang lain punya konsep yang jauh lebih baik.
Ah, sadar tak sadar. Kita sering merasa diri lebih tinggi, lebih paham. Diucapkan ataupun tidak diucapkan. Sadar tidak sadar, kita sering ketika melihat karya atau sebentuk hasil proses kreatif atau hal yang dilakukan orang lain, malah mencari kekurangannya. Imbang kalau dibarengi dengan penilaian objektif. Ketika ada dapat salah, maka dicari juga benar dan bagusnya untuk dipuji.
Zaaap. Sengatan yang singkat tapi sangat kuat, nyaris pitam, sampai hilang kata. Sakit menusuk hingga berdenyut satu badan. Teguran kecil dari Illahi. Terbayangkan pun tidak, benda bertenaga baterai itu bisa menyakiti sedemikian rupa. Tapi itulah, teguran. Mungkin orang lain ada yang lebih tersakiti akibat sikap kita, ucapan kita, dibanding sengatan listrik tadi. Dan bukan sekedar menusuk fisik, tapi hati dan jiwanya.
Lebih bersyukur lagi, kalau aku boleh jujur, selain ditegur adalah karena dibolehkan pikiran ini sedikit terbuka. Ditampakkan bahwa itu teguran. DilapangkanNya pikiran. Ah, memang Allah pemilik hidup, hati dan pikiran mahlukNya, bisa dibolak-balikkanNya dengan mudah.
Aiiih, aku juga pernah bang, silap padahal biasanya aku sangat teliti. Mungkin karena ada sedikit ria dalam hati karena selalu teliti, jadi ga terpikir bakal salah. Alhamdulillah Allah masih mengingatkan dgn kesilapan tsbt agar kita tdk sombong
ReplyDelete